novelku

to live, is being a great adventure -- peter pan

My Photo
Name:
Location: Depok, Jawa Barat, Indonesia

rainbow viewed from the open window of your heart

1.11.04

lima

"Ternyata siang masih panjang," desah hatiku bersuara.
Kucoba lemparkan pandangan ke sekeliling, masih ada beberapa orang di dalam ruang sembahyang, ada yang sedang membaca alquran, sementara ada juga yang mengais pahala dengan salat-salat sunnah, ada juga yang berbaring menikmati sejuknya masjid.

Aku beranjak dari duduk zikirku menuju ke pelataran. Di sana kudapati pedagang buku-buku agama dan penjual peci berkutat menarik perhatian jamaah yang sedang melihat-lihat jualan. Beberapa peminat bercakap-cakap di hadapan barang dagangan yang terhidang di atas tikar.

"Kemarin aku ikut pengajian Ustazah ini lho."
"Ustazah yang mana maksudmu?"
"Ini yang mantan biarawati." sambil menunjukkan sebuah VCD dialog
"Oh, bagus pengajiannya?"
"Dia memaparkan secara gamblang tentang kondisi sebenarnya."
"Maksudnya?"
"Iya, dia seorang perempuan yang cerdas dan luar biasa, ia memberitahu tentang sikap kehati-hatian dan toleransi yang seharusnya dimiliki seorang muslim."
"Kok kamu bisa ikutan pengajiannya sih?"
"Kebetulan aku diajak teman, ternyata pengajiannya sebulan sekali."
"Di mana?"
"Dekat kantorku di daerah Setiabudi."

Di samping aku duduk, ada beberapa pemijat dari Madura. Mereka menawarkan ramuan Madura sebagai solusi kesehatan dengan harga dua puluh ribu rupiah saja. Kelengkapan yang mereka bawa adalah kain, minyak pijat, beberapa kliping koran yang dilaminating. Kliping koran itu bercerita tentang kiprah mereka.

Seorang pemuda berbicara dengan mereka.

"Mari dik, saya pijat."
"Ah tidak usah pak."
"Tak apa gratis, sambil saya deteksi."

Tangan pemijit itu pun langsung menarik lengan si pemuda dan mulai memijat.

"Sudah punya anak, dik?"
"Belum pak."
"Sepertinya adik sering masuk angin dan pusing kepala ya?"
"Benar, darimana Bapak tahu?"
"Jarang olahraga ya?"

"Wah, juga sering kesemutan nih kakinya."
"Ya, kalau duduk sila, tidak lama cepat kesemutan."
"Itu gejala asam urat, coba saya deteksi kakinya."

Si pemuda membuka kaus kakinya lalu mengulurkan salah satu kakinya untuk dipijat.

"Bismillah.." si pemijat merapal doa.
"Dik, ini gejalanya sudah saya dapat, jangan makan jeroan dan air kelapa selama seminggu ya."
"Baik pak, lalu?"
"Wah, adik belum kawin?"
"Hehehe... belum." semburat malu terlihat di wajah pemuda itu.
"Wah, gak tahan lama."
"Gak tahan lama bagaimana pak?"
"Mudah ejakulasi dini."
"?"
"Walau belum nikah, ketahuan kok, nanti kalau kawin kamu gak tahan lama."
"?"
"Ingat ya, dik jangan makan jeroan dan air kelapa selama seminggu."
"Ya."
"Mau sembuh?"
"Ya jelas mau dong."
"Ini obatnya dua butir diolesin sekarang, cuma dua puluh ribu saja."
"Gak bisa dibawa pulang?"
"Gak bisa, selama pengobatan jangan makan jeroan dan air kelapa seminggu lamanya."
"Oh begitu."
"Minggu depan datang lagi untuk pengobatan lanjutan."
"Lho?"
"Hanya memastikan bahwa pengobatannya berhasil. Kesembuhan hanya dari Allah, dik."
"Terima kasih pak, tapi saat ini saya tidak dulu ya, pak."
"Adik ingin sembuh?"
"Insya Allah, pak. Terima kasih, mari."

Pemuda itu pun berlalu setelah menjabat terima kasih tangan si pemijat.
Kualihkan pandangan ke anak-anak usia SD-SMP yang tekun mengusap dan menyemir sepatu jamaah. Terlihat sepatu-sepatu yang telah tersemir, mengkilap tersusun rapi menunggu pemiliknya.

Seorang jamaah memanggil salah seorang anak penyemir sepatu dan memberikan kupon bernomor. Anak itupun sigap mengambilkan sepatu orang tersebut.

"Terima kasih, dik," sambil mengulurkan selembar uang lima ribuan.
"Kembalinya pak," anak itu menyerahkan tiga lembar uang seribuan.
"Tak usah, ambillah untukmu," orang itu berlalu.
"Terima kasih, pak."

"Dik!" seorang jamaah lain memanggil anak penyemir sepatu.
"Ini pak sepatunya."
"Ini, terima kasih," orang itu memberikan selembar uang seribu.
"Maaf pak, dua ribu rupiah."
"Lho, biasanya juga segitu."
"Iya kalau bapak hanya menitipkan, kalau sekaligus semir jadi dua ribu."
"Huh, ini uangnya," sambil bersungut-sungut orang itu berlalu.

"Ada kalanya kita tak mampu menghargai jerih payah orang lain," gumamku sambil menyungging senyum sendiri.
Kulihat jarum jam di dinding masjid menunjukkan angka dua, aku pun memasang kaus kaki dan memasukkan kedua kakiku itu ke dalam sepatu. Kusapa penjaga masjid yang sedang duduk berwirid di belakang meja. Kulangkahkan kaki kembali menuju ruang kerjaku di gedung berlantai tiga puluh yang menjulang di depan masjid ini.

"Ternyata siang masih panjang," desah hatiku bersuara.

***

[29.6.04] percakapan di pelataran masjid