duabelas
senja selalu punya banyak cerita tentang hidup, dan selalu menawarkan mimpi-mimpi yang dapat dipilih untuk malamnya. senja juga mengiringi perasaan hati setiap insan yang merindu. adakalanya ia membawa kepedihan, namun hilang dicabut angin yang membelai petang. kadang ia menggambarkan kebahagiaan, namun patah diinjak langkah yang mengusung malam.
"mas, terima kasih dah bawa de ke tempat yang indah ini,"
wajahnya tampak bahagia, memandang senja di tepi samudera hindia, ia kembali bertanya kepadaku,
"mas, apa yang kaulihat pada diriku sebenarnya?"
aku memandangnya dengan penuh senyum, rasa sayangku beradu dengan rasa benciku kepadanya. ia memang bukan perempuan istimewa, tetapi ia bukanlah perempuan biasa. itu yang kutahu tentang dia, ia punya potensi energi yang luar biasa, namun tak banyak yang dapat ia lakukan untuk melejitkan potensi tersebut.
dengan lancang, sebelumnya aku telah meminta Allah, untuk menjadi orang yang membantunya menemukan diri. senja itu, kami duduk berdua di bawah gubuk beratap pelepah daun kelapa, mencoba menyelami hati masing-masing, menikmati perjalanan pernikahan kami yang baru seumur jagung.
"mas, de sempat ngga percaya bahwa ini takdir kita, bahwa ternyata kita menikah."
kupeluk dirinya dalam rangkulan, mencoba mendekati perasaannya yang mudah kecamuk.
"de, mungkin bukan orang yang tepat buat mas. de, tidak terbiasa dengan pola yang ada pada keluargamu, mas. semuanya di mata mereka, de ngga sempurna. dan mas, adalah harapan mereka. de, sering ngga bisa nerima kebiasaan mereka yang menurut de.. menyakitkan."
ah, dia sedang mengeluhkan dirinya sendiri yang sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan keluargaku. perempuan sering sekali membesarkan hal-hal yang berbau perasaan. ia memang masih muda, kami masih muda, orang-orang bilang bahwa kami masih anak-anak. ia baru saja lepas dari bangku sekolah, dan aku pun masih baru belajar mencicipi hidup dengan pekerjaan.
selepas pernikahan kami yang sederhana, ia kuboyong ke rumah orangtuaku, kami tinggal di rumah orangtuaku bukannya tanpa alasan. di antaranya karena masalah tempat, di rumah mertuaku tidak ada tempat yang memadai untuk kami sebagai pengantin baru, kemudian lokasi rumah mertua lebih jauh dan lebih macet untuk ke kantor. dan aku ingin dia dekat dengan ibuku. seorang istri, bagiku akan terhormat posisinya ketika ia memuliakan ibu dari suaminya.
konflik antara ibu mertua dan menantu bukanlah fiksi yang hanya ditemui di novel-novel, hal itu menyata dalam kehidupan kami. kadang hanya masalah kecil, perbedaan meramu masakan, perbedaan kebiasaan dalam menangani pekerjaan rumah tangga, bisa memicu konflik. ibuku sering menangis ketika beliau merasa tidak dihormati oleh istriku, sebaliknya istriku sering ngambek ketika ia merasa pekerjaannya tidak dihargai oleh ibuku.
"semua butuh proses, mas. seseorang yang keluar dari zona nyamannya, butuh proses untuk beradaptasi, dan sepertinya semua usahaku tidak dihargai."
sambil terisak ia terus mengadu,
"jika sering aku kembali ke rumah mama, seringkali karena aku ingin lari dari rumah orangtuamu, selain karena aku kangen sama mamaku. tetapi lagi, tak akan bertahan lama, karena kau tak berada di sisiku, mas. tak merasakah kau bahwa aku sangat merindumu?"
"mas, belum pernah aku jatuh cinta seperti ini. sebelumnya hanya nestapa dan angan-angan belaka. dan kau datang kepadaku membawa begitu banyak harapan, hmm... walau sebenarnya sebanyak itu adalah harapanku sendiri tentang dirimu, mas."
ia benar, aku tak pernah menawarkan harapan apapun kepadanya. aku hanya mengajaknya untuk mengisi keping-keping puzzle pada hidupku, dan melangkah dalam pernikahan yang hanya didasari rasa cinta kepada Allah saja.
"dan, kau sering terlihat masabodoh dengan semua itu, mas. mengapa kau seperti tak mempermasalahkan apapun? kamu selalu punya cara membuat masalah tidak menjadi hal yang besar, dan kamu juga selalu punya cara untuk tidak menghiraukan hal-hal yang menurutmu ga penting."
"mas, kenapa sih diam saja?"
ia melepaskan diri dari pelukanku, kemudian menatapku penuh rasa ingin tahu apa yang ada di benakku. kualihkan pandanganku darinya kepada wajah senja yang memerah.
"de, mas bersyukur kepada Allah, karena ia menganugerahi mas, seorang istri yang terbuka kepada suaminya," kucoba membuka pintu hatinya menerima kata-kataku.
"mungkin de, hanya melihat mas selalu nampak bahagia. namun tak dapat mas pungkiri, setiap masalah yang membuatmu bersedih, turut membuatku bingung dan sering stres. karena de tak setiap saat mau mengungkapkan apa yang kau pendam di dalam dendammu. mas masih perlu diajarkan bagaimana memahamimu."
kulihat matanya berbinar dan sudut bibirnya menyunggingkan senyum yang masih putik.
"sempat terpikir, bila tak sanggup lagi aku menjinakkanmu, apa kah lebih baik untuk menceraikanmu saja," ia terbelalak mendengar kata ini, "tapi itu ngga mendatangkan manfaat apapun, ga banyak yang bisa dipelajari dari perceraian, kecuali kecewa."
kulihat ia menampakkan antusiasme,
"akan banyak kecewa pada diriku, dirimu, keluarga kita dan juga orang-orang di sekitar kita. dan juga pada Allah, yang telah mengijinkan kita menikah."
"ketika, aku memintamu menikah bersamaku karena Dia, tentulah akan sangat membangkitkan amarah-Nya, jika akhirnya kita harus berpisah hanya karena masalah-masalah yang sama sekali tidak krusial bagi-Nya," matahari kulihat sudah siap tenggelam di balik cakrawala, debur ombak semakin menggebu menyambut malam, "bagiku, menikahimu adalah belajar, tak peduli berapa kali kita harus jatuh bangun menganyam kisah indah dalam perjalanan kita nanti, semuanya adalah pembelajaran dalam meraih ridha Allah saja. mas sangat yakin, semua masalah akan selalu ada Allah yang membantu kita."
ia memelukku erat, erat sekali, hampir saja kami jatuh dari bangku bambu di gubuk itu. kemudian kami berkejaran menyusuri pantai menuju sepeda motor yang setia menunggu di bawah pohon kelapa. sepanjang perjalanan pulang, telah terukir dalam hati, bahwa Allah senantiasa mengawasi dan membuka jalan, bagi siapapun yang mencari Dia dengan ikhlas.
"mas, terima kasih dah bawa de ke tempat yang indah ini,"
wajahnya tampak bahagia, memandang senja di tepi samudera hindia, ia kembali bertanya kepadaku,
"mas, apa yang kaulihat pada diriku sebenarnya?"
aku memandangnya dengan penuh senyum, rasa sayangku beradu dengan rasa benciku kepadanya. ia memang bukan perempuan istimewa, tetapi ia bukanlah perempuan biasa. itu yang kutahu tentang dia, ia punya potensi energi yang luar biasa, namun tak banyak yang dapat ia lakukan untuk melejitkan potensi tersebut.
dengan lancang, sebelumnya aku telah meminta Allah, untuk menjadi orang yang membantunya menemukan diri. senja itu, kami duduk berdua di bawah gubuk beratap pelepah daun kelapa, mencoba menyelami hati masing-masing, menikmati perjalanan pernikahan kami yang baru seumur jagung.
"mas, de sempat ngga percaya bahwa ini takdir kita, bahwa ternyata kita menikah."
kupeluk dirinya dalam rangkulan, mencoba mendekati perasaannya yang mudah kecamuk.
"de, mungkin bukan orang yang tepat buat mas. de, tidak terbiasa dengan pola yang ada pada keluargamu, mas. semuanya di mata mereka, de ngga sempurna. dan mas, adalah harapan mereka. de, sering ngga bisa nerima kebiasaan mereka yang menurut de.. menyakitkan."
ah, dia sedang mengeluhkan dirinya sendiri yang sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan keluargaku. perempuan sering sekali membesarkan hal-hal yang berbau perasaan. ia memang masih muda, kami masih muda, orang-orang bilang bahwa kami masih anak-anak. ia baru saja lepas dari bangku sekolah, dan aku pun masih baru belajar mencicipi hidup dengan pekerjaan.
selepas pernikahan kami yang sederhana, ia kuboyong ke rumah orangtuaku, kami tinggal di rumah orangtuaku bukannya tanpa alasan. di antaranya karena masalah tempat, di rumah mertuaku tidak ada tempat yang memadai untuk kami sebagai pengantin baru, kemudian lokasi rumah mertua lebih jauh dan lebih macet untuk ke kantor. dan aku ingin dia dekat dengan ibuku. seorang istri, bagiku akan terhormat posisinya ketika ia memuliakan ibu dari suaminya.
konflik antara ibu mertua dan menantu bukanlah fiksi yang hanya ditemui di novel-novel, hal itu menyata dalam kehidupan kami. kadang hanya masalah kecil, perbedaan meramu masakan, perbedaan kebiasaan dalam menangani pekerjaan rumah tangga, bisa memicu konflik. ibuku sering menangis ketika beliau merasa tidak dihormati oleh istriku, sebaliknya istriku sering ngambek ketika ia merasa pekerjaannya tidak dihargai oleh ibuku.
"semua butuh proses, mas. seseorang yang keluar dari zona nyamannya, butuh proses untuk beradaptasi, dan sepertinya semua usahaku tidak dihargai."
sambil terisak ia terus mengadu,
"jika sering aku kembali ke rumah mama, seringkali karena aku ingin lari dari rumah orangtuamu, selain karena aku kangen sama mamaku. tetapi lagi, tak akan bertahan lama, karena kau tak berada di sisiku, mas. tak merasakah kau bahwa aku sangat merindumu?"
"mas, belum pernah aku jatuh cinta seperti ini. sebelumnya hanya nestapa dan angan-angan belaka. dan kau datang kepadaku membawa begitu banyak harapan, hmm... walau sebenarnya sebanyak itu adalah harapanku sendiri tentang dirimu, mas."
ia benar, aku tak pernah menawarkan harapan apapun kepadanya. aku hanya mengajaknya untuk mengisi keping-keping puzzle pada hidupku, dan melangkah dalam pernikahan yang hanya didasari rasa cinta kepada Allah saja.
"dan, kau sering terlihat masabodoh dengan semua itu, mas. mengapa kau seperti tak mempermasalahkan apapun? kamu selalu punya cara membuat masalah tidak menjadi hal yang besar, dan kamu juga selalu punya cara untuk tidak menghiraukan hal-hal yang menurutmu ga penting."
"mas, kenapa sih diam saja?"
ia melepaskan diri dari pelukanku, kemudian menatapku penuh rasa ingin tahu apa yang ada di benakku. kualihkan pandanganku darinya kepada wajah senja yang memerah.
"de, mas bersyukur kepada Allah, karena ia menganugerahi mas, seorang istri yang terbuka kepada suaminya," kucoba membuka pintu hatinya menerima kata-kataku.
"mungkin de, hanya melihat mas selalu nampak bahagia. namun tak dapat mas pungkiri, setiap masalah yang membuatmu bersedih, turut membuatku bingung dan sering stres. karena de tak setiap saat mau mengungkapkan apa yang kau pendam di dalam dendammu. mas masih perlu diajarkan bagaimana memahamimu."
kulihat matanya berbinar dan sudut bibirnya menyunggingkan senyum yang masih putik.
"sempat terpikir, bila tak sanggup lagi aku menjinakkanmu, apa kah lebih baik untuk menceraikanmu saja," ia terbelalak mendengar kata ini, "tapi itu ngga mendatangkan manfaat apapun, ga banyak yang bisa dipelajari dari perceraian, kecuali kecewa."
kulihat ia menampakkan antusiasme,
"akan banyak kecewa pada diriku, dirimu, keluarga kita dan juga orang-orang di sekitar kita. dan juga pada Allah, yang telah mengijinkan kita menikah."
"ketika, aku memintamu menikah bersamaku karena Dia, tentulah akan sangat membangkitkan amarah-Nya, jika akhirnya kita harus berpisah hanya karena masalah-masalah yang sama sekali tidak krusial bagi-Nya," matahari kulihat sudah siap tenggelam di balik cakrawala, debur ombak semakin menggebu menyambut malam, "bagiku, menikahimu adalah belajar, tak peduli berapa kali kita harus jatuh bangun menganyam kisah indah dalam perjalanan kita nanti, semuanya adalah pembelajaran dalam meraih ridha Allah saja. mas sangat yakin, semua masalah akan selalu ada Allah yang membantu kita."
ia memelukku erat, erat sekali, hampir saja kami jatuh dari bangku bambu di gubuk itu. kemudian kami berkejaran menyusuri pantai menuju sepeda motor yang setia menunggu di bawah pohon kelapa. sepanjang perjalanan pulang, telah terukir dalam hati, bahwa Allah senantiasa mengawasi dan membuka jalan, bagi siapapun yang mencari Dia dengan ikhlas.
<< Home